Kapankah Indonesia Bisa Menjadi Bangsa Digital?

Di zaman di mana data adalah minyak baru, dan koneksi lebih bernilai dari sekadar lokasi, masihkah kita bertanya: kapan Indonesia benar-benar menjadi bangsa digital? Atau justru pertanyaan yang lebih tepat adalah, berani atau tidak kita menjadi bangsa digital?

Visual ajakan Indonesia menjadi bangsa digital dengan latar oranye dan ikon teknologi

Babak Awal: Euforia Digital Tanpa Pondasi?

Indonesia tidak pernah kekurangan semangat dalam menyambut era digital. Lihat saja, dari kampung hingga kota, hampir semua orang kini memiliki smartphone. Anak SD pun sudah akrab dengan TikTok dan Mobile Legends, sementara ibu-ibu di desa menjual keripik lewat Facebook Marketplace. Dunia digital bukan lagi milik kota besar.

Namun, pertanyaan mendasarnya bukanlah “seberapa banyak masyarakat yang terkoneksi,” tetapi: seberapa dalam digitalisasi meresap ke dalam sistem bangsa ini, ekonomi, pemerintahan, pendidikan, hingga budaya?

Tanpa fondasi yang solid, euforia digital ini bisa berubah menjadi sekadar konsumsi teknologi, bukan transformasi teknologi. Kita bisa saja menjadi bangsa yang sibuk berselancar, tanpa benar-benar menguasai gelombang digital itu sendiri.

Bangsa Digital Bukan Soal Kecepatan Internet

Kita sering terjebak dengan indikator seperti "berapa Mbps rata-rata internet Indonesia" atau "berapa persen penduduk yang sudah online." Tapi bangsa digital bukan sekadar perkara teknis. 

Ini adalah sebuah kesadaran kolektif dan budaya baru, di mana setiap lini kehidupan terintegrasi dengan teknologi bukan hanya sebagai alat bantu, tetapi sebagai sistem utama berpikir dan bertindak.

Negara seperti Estonia, dengan penduduk hanya 1,3 juta, sudah menerapkan e-government penuh, dari e-voting hingga e-tax, bahkan sejak awal 2000-an. Sementara kita? Mengurus KTP dan BPJS saja masih seperti menembus portal waktu ke abad ke-20.

Lima Pilar Menuju Bangsa Digital

Untuk menjawab kapan Indonesia bisa menjadi bangsa digital, kita harus memahami dulu lima pilar utamanya:

1. Infrastruktur Digital sebagai Tulang Punggung

Tanpa jaringan internet yang stabil dan merata, digitalisasi hanya akan menjadi proyek kota-kota besar. Saat ini, walau Palapa Ring telah selesai, realita di lapangan berkata lain. Di banyak daerah terpencil, sinyal masih timbul tenggelam, seperti janji kampanye.

Jika konektivitas masih menjadi kemewahan, bagaimana bisa kita berbicara soal pemerataan digital?Solusi? Kita butuh model kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas untuk membangun konektivitas sebagai _public utility_, bukan sekadar proyek tender.

2. Literasi Digital sebagai Senjata Utama

Memiliki akun media sosial tidak sama dengan melek digital. Punya aplikasi e-wallet tidak otomatis berarti paham ekonomi digital. Masyarakat kita masih rentan termakan hoaks, belum mampu membedakan privasi dari eksibisionisme, dan mudah percaya pada investasi bodong bermodal endorsement selebgram.

Literasi digital bukan sekadar bisa pakai aplikasi—tapi bagaimana menggunakan teknologi dengan kritis, etis, dan produktif. Dan sayangnya, hingga kini, kita masih lebih banyak diajari bagaimana memakai PowerPoint daripada bagaimana memahami algoritma.

3. Data Sebagai Aset, Bukan Tambahan

Di era digital, data adalah kekuatan. Tapi di Indonesia, data masih tercecer, tumpang tindih, atau lebih parah lagi: dijual tanpa izin. Kita belum punya budaya data sovereignty. Pemerintah masih berdebat soal RUU PDP, sementara data warga sudah bocor ke sana-sini seperti ember bocor di musim hujan. Negara digital bukan hanya butuh server, tapi juga etika dan regulasi kuat untuk mengelola data sebagai sumber daya strategis.

4. Talenta Digital sebagai Mesin Inovasi

Negara ini punya banyak anak muda jenius. Tapi sayangnya, banyak dari mereka lebih memilih membangun startup di Singapura atau kerja remote untuk perusahaan asing. Bukan karena tidak cinta negeri, tapi karena di sini, ekosistem belum siap, gaji kecil, birokrasi ribet, dan apresiasi minim.

Bangsa digital adalah bangsa yang menghargai engineer lebih dari influencer. Tapi coba tanya, siapa lebih sering muncul di TV? Untuk itu, kita perlu menciptakan ekosistem yang menghargai inovator, membina talenta digital sejak sekolah dasar, dan memberi ruang bagi para tech builder, bukan hanya tech user.

5. Kepemimpinan Digital di Pemerintahan

Digitalisasi tanpa kepemimpinan yang visioner hanyalah upgrade kosmetik. Kita butuh pemimpin yang mengerti teknologi tidak sekadar jargon, tetapi sebagai tools strategis untuk efisiensi dan transparansi.

E-government bukan soal aplikasi dengan UI cantik, tapi bagaimana pelayanan publik bisa lebih cepat, transparan, dan akuntabel lewat teknologi. Saat presiden bicara soal AI, blockchain, dan big data, kita harus bertanya: sudahkah para pejabat daerah paham makna sesungguhnya, atau hanya ikut-ikutan slide presentasi?

Bangsa Digital Bukan Hanya Tentang Startup

Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia bangga melahirkan unicorn-unicorn digital. Tapi menjadi bangsa digital bukan soal banyaknya startup, melainkanbagaimana teknologi mengubah cara hidup, cara belajar, cara memimpin, dan cara berdaulat.

Apa gunanya 1.000 startup kalau kita masih mengandalkan kertas dalam administrasi sekolah? Apa artinya punya platform digital besar, kalau server-nya semua ada di luar negeri?

Indonesia Digital: Proses atau Mimpi?

Kita bisa optimis, tapi tak boleh naif. Digitalisasi bukan seperti memencet tombol ON. Ini adalah perjalanan panjang yang harus dibangun secara sadar dan kolektif. Jika tidak, kita akan terus menjadi bangsa yang hanya berperan sebagai pasar, bukan sebagai produsen. Pasar untuk aplikasi asing. Pasar untuk data yang dijual ke luar negeri. Pasar untuk teknologi yang kita konsumsi, tapi tidak kita kuasai.

Pertanyaan Terakhir: Siapa yang Kita Mau Jadi?

Mari berhenti bertanya "kapankah?" dan mulai bertanya "siapa yang akan mewujudkan?"  Karena bangsa digital tidak hanya berkaitan dengan pemerintah, atau sekadar tentang startup, maupun hanya soal jaringan internet.Tapi soal kita semua, dari guru hingga petani, dari pelajar hingga pejabat.

Setiap keputusan kecil, dari memilih aplikasi lokal, mendukung open source, mengajarkan coding di sekolah, melindungi data pribadi, hingga mengkritisi kebijakan digital, adalah bagian dari jalan panjang menuju bangsa digital.

Kesimpulan

Bangsa Digital Bukan untuk Ditunggu, Tapi Diciptakan. Indonesia tidak sedang kekurangan potensi. Yang kita butuhkan adalah visi bersama, keberanian untuk berubah, dan sistem yang berpihak pada inovasi.

Kita bisa, dan harus, berhenti menjadi pengguna pasif. Karena bangsa digital sejati bukanlah bangsa yang sekadar mengunduh aplikasi. Tapi bangsa yang mampu menciptakan masa depan dari jari-jarinya sendiri.

Ingat, Idn Driver adalah Pengemudi masa depan, yang tak hanya menguasai jalanan, tapi juga semesta digital. Kalau kamu suka artikel ini dan ingin melihat Indonesia benar-benar jadi bangsa digital, bantu sebarkan dan jangan lupa tinggalkan komentar: Apa langkah paling nyata yang bisa kamu lakukan hari ini?

Post a Comment for "Kapankah Indonesia Bisa Menjadi Bangsa Digital?"